PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT
Nopian Andusti, S.E.,M.T
SAB Bengkulu Selatan Bid. Ekonomi & Keuangan
Nopian Andusti, S.E.,M.T
SAB Bengkulu Selatan Bid. Ekonomi & Keuangan
Berbagai
istilah banyak dikenal dengan community
empowerment developing program, community based resources management, community
based development management. Istilah ini berkembang dan diperbaharui
seiring dengan berkembangnya teori dan hasil dari proses-proses implementasi community development. Berkait dengan
itu, yang jauh lebih penting adalah perubahan paradigma karena dari banyak
analisa manfaat faktual yang terjadi adalah banyak program yang telah
dipersiapkan secara mendalam pada akhirnya hanya bermanfaat bagi beberapa tokoh
masyarakat atau golongan tertentu dan tidak mengakar di akar rumput.
A.
Pendekatan Community Based
Development
Pendekatan
Pembangunan Berbasis Masyarakat (Community
Based Development) adalah metode pendekatan yang melibatkan
masayarakat/komunitas didalam pembangunan. Didalam pembangunan ini melibatkan
berbagai unsur-unsur yang lebih luas diantaranya adalah sosial, budaya, ekonomi
hingga peraturan/kepranataan dan
lingkungan. Sifat dari pendekatan CBD
ini adalah proses pembangunan mulai dari
tahap idea/gagasan, perencanaan,
pembuatan program kegiatan, penyusunan
anggaran/biaya, pengadaan sumber-sumber hingga pelaksanaan di lapangan lebih menekankan
kepada keinginan atau kebutuhan yang
nyata ada (the real needs of community) dalam kelompok
masyarakatnya.
Pendekatan
CBD ini lebih menekankan pada keinginan
dan kebutuhan yang nyata ada dalam
kelompok masyarakatnya, maka pendekatan ini
lebih bercirikan pendekatan yang bersifat ‘bottom up’. Kelebihan-kelebihan dari pendekatan CBD ini
adalah antara lain: lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keinginan dan kebutuhan dari kelompok
masyarakatnya, lebih peka terhadap dinamika/ perkembangan yang terjadi dalam kelompok masyarakatnya, dapat
lebih meningkatkan motivasi dan peran-serta kelompok masyarakatnya karena jenis
keinginan atau kebutuhan yang direncanakan nyata datang dari mereka, kelompok
masyarakatnya merasa lebih dihargai (didengar dan diperhatikan) yang akan meningkatkan ‘rasa
memiliki’ (sense of belonging) pada
program kegiatan yang direncanakan.
Konsep CBD sebagai mekanisme
perencanaan yang menekankan pada teknologi “social
learning” dan strategi perumusan program yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat mengaktualisasikan diri. Pokok pikiran yang terkandung
dalam CBD adalah mencakup: pertama, keputusan dan inisiatif pemenuhan kebutuhan
masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal oleh warga masyarakat yang memiliki
identitas yang diakui peranannya; kedua, memperkuat kemampuan masyarakat miskin
mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada untuk memenuhi kebutuhannya; ketiga,
toleransi yang besar terhadap variasi dan karenanya mengakui makna pilihan
nilai individual didalam pengambilankeputusan dan desentralisasi; keempat, CBD
menggunakan teknologi “social learning
process” dimana individu berinteraksi satu sama lain menembus batas
organisatoris dengan mengacu pada kesadaran kritis masing-masing; kelima,
Budaya kelembagaan ditandai oleh adanya organisasi otonom, mandiri dan saling
berinteraksi memberikan umpan balik;
keenam, adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara pelaku organisasi
lokal yang otonom (Tjokrowinoto, 1996).
Community Based Development di
Indonesia sudah berjalan dengan baik, ditandai dengan tumbuhnya industri rumah yang sudah mampu berperan secara global.
Sebagai contoh, industri batik yang mampu menembus pasaran global, merupakan
kemajuan yang baik bagi perkembangan community
based development di Indonesia. Dengan berbasis community maka ada beberapa keuntungan yang diperoleh dalam
industri, salah satunya adalah ketergantungan industri-industri kecil sehingga
diperoleh kemakmuran bersama. Namun peran pemerintah tetap diperlukan dalam
mendukung tersedianya bahan baku dan sarana prasarana pendukung sehingga
indutri rumahan dapat terus berjalan sesuai Program OVOP.
B.
Pendekatan CSR
CSR merupakan
inisiatif dan usaha pihak swasta dalam menyampaikan kepedulian terhadap isu-isu
sosial di masyarakat (Bappenas, 2008) yang bisa diarahkan untuk membantu negara
mencapai target dalam agenda nasional. Hal ini karena tidak jarang pihak swasta
mempunyai kemampuan ekonomi yang hampir sama dengan pemerintah (Kementerian
Sosial Republik Indonesia, 2007). Kini kuncinya pada intergritas dan komitmen
pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana agar CSR yang dilaksanakan
pihak swasta dapat berjalan efektif dan sesuai dengan arah pembangunan
nasional. Sayangnya di Indonesia walaupun ada 3 (tiga) Undang-Undang yang didalam
salah satu pasalnya mengatur perihal CSR, cakupannya masih sangat terbatas pada
perusahan-perusahan yang ada kaitan langsung dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Alhasil maraknya kegiatan CSR yang dilakukan pihak-pihak swasta dalam sepuluh
tahun terakhir ini masih terkesan tidak terarah dan sebatas untuk publikasi.
Bahkan ada perusahan yang salah dalam mengartikan CSR dan menjadikannya sebagai
media promosi terselubung. Menurut Garriga dan Mele (2004) perusahan semacam
ini adalah perusahan yang masih menerapkan asas instrumen dalam pelaksaan CSR,
asas yang melihat CSR sebagai instrumen penambah keuntungan semata.
Melihat hal diatas,
sangat jelas pemerintah perlu menciptakan regulasi dan instrumen hukum yang
lebih komprehensif. Namun demikian pada tahap penyusunan regulasi dan
penerapannya, hal ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Hal ini
dikarenakan CSR adalah hal yang sensitif dan bersifat sukarela. Usaha menekan
pihak swasta untuk melaksanakan CSR melalui penyusunan kebijakan maupun hukuman
dapat membuat pihak swasta semakin bersikeras untuk bekerja sama dengan
pemerintah dan juga membuat usaha CSR di Indonesia menjadi tidak tulus
(Koestoer, 2007). Hal ini juga dapat menyulitkan usaha membantu pihak swasta
menerapkan CSR dengan asas intergratif dan etika. Dua asas yang menurut Garriga
dan Mele (2004) melihat pada ketulusan perusahan dalam menjalankan CSR untuk
pemangku kepentingan dan juga sisi moral atau kemanusian.
Beberapa cara untuk
mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi lebih dalam menjalankan CSR adalah
dengan memberikan i) kejelasan posisi dan peran pemerintah dan ii) ruang
lingkup kegiatan CSR yang akan mereka lakukan. Selain dari dua cara itu pemerintah juga dapat mendorong partisipasi pihak
swasta dengan memberikan insentif, terutama insentif pajak (Indonesia Business
Link, 2006 di Koestoer, 2007). Kejelasan posisi, peran pemerintah dan ruang
lingkup dalam mengarahkan CSR untuk mendukung pembangunan nasional sangatlah
penting. Hal ini karena pihak swasta yang akan ikut berpartisipasi memerlukan
jaminan bahwa kontribusi mereka melalui CSR terjamin dan tepat sasaran.
Sedangkan insentif pajak berperan sebagai ganjaran karena berpartisipasi dalam
pembangunan nasional dan inisiatif pemerintah. Ganjaran semacam ini dapat
mendorong pihak swasta yang lain untuk turut berpartisipasi dalam usaha-usaha
CSR yang dapat membawa sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan.
Dalam makalah ini, sebuah konsep
baru dalam mengikutsertakan pihak swasta dalam pelaksanaan CSR yang terarah
akan diperkenalkan. Posisi dan peran lingkup pemerintah selain sebagai policy
maker dalam makalah ini adalah juga sebagai pencentus sebuah institusi
indepeden yang bisa berupa foundation atau yayasan untuk mengintegrasi
kontribusi-kontribusi CSR dari tiap-tiap perusahan pendonor yang mana hasi
kontribusi itu akan di manfaatkan untuk microcredit atau kredit mikro
pengembangan Industri kreatif di Indonesia dan pengembangan SDM di industri
kreatif agar mereka mempunyai kemampuan berbisnis yang lebih.
C.
Pendekatan Birokrasi
Birokrasi dapat
diartikan sebagai bagian pelaksana
pemerintahan. Tetapi juga birokrasi berarti tatanan yang memiliki sifat
delegasi wewenang, pembangian kerja, mekanisme administrasi dan termasuk juga
pelaksanaan tugas dan pengawasannya. Secara
kelembagaan, birokrasi diartikan sebagai salah satu level pemerintahan yang
memiliki otoritas untuk mengatur dan melaksanakan tugas tugas pemerintahan.
Ciri dari birokrasi adalah adanya kelompok penguasa dan metode pemerintahan.
S. Ramachander
(1998) menjelaskan bahwa apa yang menjadi pusat perhatian dari Max Weber ialah
persoalan mengenai apakah yang membuat orang-orang mematuhi perintah dan mau
melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Persoalan ini menjadi penting
ketika kita berhadapan dengan persoalan perubahan sosial secara kolektif. Dalam
konteks ini, Weber membedakan antara kekuasaan (power) yang berarti
kemampuan untuk menggerakkan orang-orang dengan kekuatan dan kewenangan (authority)
yang berarti perintah-perintah yang ditaati oleh orang-orang dengan
kesediaannya sendiri.
Salah satu
instrumen penting untuk menjalankan dan menegakkan aturan-aturan hukum demi
penyelarasan gerak langkah seluruh elemen masyarakat itu ialah birokrasi.
Birokrasi merupakan tipe
organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar
dengan cara mengkoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak
orang, Sebagai sebuah instrumen atau alat, maka birokrasi tak lebih dari
aparatur pelaksana dari kebiajkan-kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan oleh
badan-badan di luar dirinya.
D. Pendekatan Kebijakan Publik
Studi kebijakan publik berusaha untuk meninjau berbagi
teori dan proses yang terjadi dalam kebijakan publik. Dapat dikatakan bahwa
kebijakan publik tidak lepas dari proses pembentukan kebijakan itu sendiri.
Dengan demikian, salah satu tujuan studi kebijakan publik adalah untuk
menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses pembentukan kebijakan publik
tersebut sehingga terwujudlah suatu kebijakan publik tertentu.
Tahapan demi tahapan tersebut terangkum sebagai suatu
proses siklus pembuatan kebijakan publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan
kebijakan publik mengandung berbagai langkah dan metode yang lebih rinci lagi.
Tahapan yang terdapat dalam pembuatan suatu kebijakan publik memiliki berbagai
manfaat serta konsekuensi dari adanya proses tersebut, khususnya bagi para
aktor pembuat kebijakan publik. Thomas R. Dye menyebutkan Public policy is whatever governments choose to do or not to do. Kebijakan publik adalah
apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak
dilakukan. Dalam pengertian ini, pusat perhatian dari kebijakan publik tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan termasuk apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah. Apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah itulah
yang memberikan dampak cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat
bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat
oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan
publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat
dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk
bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan
dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi
pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan
publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.
Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik
dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan
berbagai kelompok dalam masyarakat
dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.