Sabtu, 14 Desember 2013

Community Based Development (CBD) - Corporate Social Responsibility (CSR)



PEMBANGUNAN BERBASIS MASYARAKAT
Nopian Andusti, S.E.,M.T
SAB Bengkulu Selatan Bid. Ekonomi & Keuangan


Berbagai istilah banyak dikenal dengan community empowerment developing program, community based resources management, community based development management. Istilah ini berkembang dan diperbaharui seiring dengan berkembangnya teori dan hasil dari proses-proses implementasi community development. Berkait dengan itu, yang jauh lebih penting adalah perubahan paradigma karena dari banyak analisa manfaat faktual yang terjadi adalah banyak program yang telah dipersiapkan secara mendalam pada akhirnya hanya bermanfaat bagi beberapa tokoh masyarakat atau golongan tertentu dan tidak mengakar di akar rumput.

A.     Pendekatan Community Based Development
Pendekatan Pembangunan Berbasis Masyarakat (Community Based Development) adalah metode pendekatan yang melibatkan masayarakat/komunitas didalam pembangunan. Didalam pembangunan ini melibatkan berbagai unsur-unsur yang lebih luas diantaranya adalah sosial, budaya, ekonomi hingga  peraturan/kepranataan dan lingkungan.  Sifat dari pendekatan CBD ini adalah  proses pembangunan mulai dari tahap idea/gagasan,  perencanaan, pembuatan program kegiatan, penyusunan  anggaran/biaya, pengadaan sumber-sumber hingga  pelaksanaan di lapangan lebih menekankan kepada  keinginan atau kebutuhan yang nyata ada (the real needs  of community) dalam kelompok masyarakatnya.
Pendekatan CBD ini lebih  menekankan pada keinginan dan kebutuhan yang nyata  ada dalam kelompok masyarakatnya, maka pendekatan ini  lebih bercirikan pendekatan yang bersifat ‘bottom up’.  Kelebihan-kelebihan dari pendekatan CBD ini adalah antara lain: lebih aspiratif dan akomodatif terhadap  keinginan dan kebutuhan dari kelompok masyarakatnya, lebih peka terhadap dinamika/ perkembangan yang terjadi dalam kelompok masyarakatnya, dapat lebih meningkatkan motivasi dan peran-serta kelompok masyarakatnya karena jenis keinginan atau kebutuhan yang direncanakan nyata datang dari mereka, kelompok masyarakatnya merasa lebih dihargai (didengar dan  diperhatikan) yang akan meningkatkan ‘rasa memiliki’ (sense of belonging) pada program kegiatan yang  direncanakan.
Konsep CBD sebagai mekanisme perencanaan yang menekankan pada teknologi “social learning” dan strategi perumusan program yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat mengaktualisasikan diri. Pokok pikiran yang terkandung dalam CBD adalah mencakup: pertama, keputusan dan inisiatif pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal oleh warga masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya; kedua, memperkuat kemampuan masyarakat miskin mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada untuk memenuhi kebutuhannya; ketiga, toleransi yang besar terhadap variasi dan karenanya mengakui makna pilihan nilai individual didalam pengambilankeputusan dan desentralisasi; keempat, CBD menggunakan teknologi “social learning process” dimana individu berinteraksi satu sama lain menembus batas organisatoris dengan mengacu pada kesadaran kritis masing-masing; kelima, Budaya kelembagaan ditandai oleh adanya organisasi otonom, mandiri dan saling berinteraksi memberikan umpan balik;  keenam, adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara pelaku organisasi lokal yang otonom (Tjokrowinoto, 1996).
Community Based Development di Indonesia sudah berjalan dengan baik, ditandai dengan tumbuhnya industri  rumah yang sudah mampu berperan secara global. Sebagai contoh, industri batik yang mampu menembus pasaran global, merupakan kemajuan yang baik bagi perkembangan community based development di Indonesia. Dengan berbasis community maka ada beberapa keuntungan yang diperoleh dalam industri, salah satunya adalah ketergantungan industri-industri kecil sehingga diperoleh kemakmuran bersama. Namun peran pemerintah tetap diperlukan dalam mendukung tersedianya bahan baku dan sarana prasarana pendukung sehingga indutri rumahan dapat terus berjalan sesuai Program OVOP.

B.    Pendekatan CSR
CSR merupakan inisiatif dan usaha pihak swasta dalam menyampaikan kepedulian terhadap isu-isu sosial di masyarakat (Bappenas, 2008) yang bisa diarahkan untuk membantu negara mencapai target dalam agenda nasional. Hal ini karena tidak jarang pihak swasta mempunyai kemampuan ekonomi yang hampir sama dengan pemerintah (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2007). Kini kuncinya pada intergritas dan komitmen pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana agar CSR yang dilaksanakan pihak swasta dapat berjalan efektif dan sesuai dengan arah pembangunan nasional. Sayangnya di Indonesia walaupun ada 3 (tiga) Undang-Undang yang didalam salah satu pasalnya mengatur perihal CSR, cakupannya masih sangat terbatas pada perusahan-perusahan yang ada kaitan langsung dengan pemanfaatan sumber daya alam. Alhasil maraknya kegiatan CSR yang dilakukan pihak-pihak swasta dalam sepuluh tahun terakhir ini masih terkesan tidak terarah dan sebatas untuk publikasi. Bahkan ada perusahan yang salah dalam mengartikan CSR dan menjadikannya sebagai media promosi terselubung. Menurut Garriga dan Mele (2004) perusahan semacam ini adalah perusahan yang masih menerapkan asas instrumen dalam pelaksaan CSR, asas yang melihat CSR sebagai instrumen penambah keuntungan semata.
Melihat hal diatas, sangat jelas pemerintah perlu menciptakan regulasi dan instrumen hukum yang lebih komprehensif. Namun demikian pada tahap penyusunan regulasi dan penerapannya, hal ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Hal ini dikarenakan CSR adalah hal yang sensitif dan bersifat sukarela. Usaha menekan pihak swasta untuk melaksanakan CSR melalui penyusunan kebijakan maupun hukuman dapat membuat pihak swasta semakin bersikeras untuk bekerja sama dengan pemerintah dan juga membuat usaha CSR di Indonesia menjadi tidak tulus (Koestoer, 2007). Hal ini juga dapat menyulitkan usaha membantu pihak swasta menerapkan CSR dengan asas intergratif dan etika. Dua asas yang menurut Garriga dan Mele (2004) melihat pada ketulusan perusahan dalam menjalankan CSR untuk pemangku kepentingan dan juga sisi moral atau kemanusian.
Beberapa cara untuk mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi lebih dalam menjalankan CSR adalah dengan memberikan i) kejelasan posisi dan peran pemerintah dan ii) ruang lingkup kegiatan CSR yang akan mereka lakukan. Selain dari dua cara itu pemerintah juga dapat mendorong partisipasi pihak swasta dengan memberikan insentif, terutama insentif pajak (Indonesia Business Link, 2006 di Koestoer, 2007). Kejelasan posisi, peran pemerintah dan ruang lingkup dalam mengarahkan CSR untuk mendukung pembangunan nasional sangatlah penting. Hal ini karena pihak swasta yang akan ikut berpartisipasi memerlukan jaminan bahwa kontribusi mereka melalui CSR terjamin dan tepat sasaran. Sedangkan insentif pajak berperan sebagai ganjaran karena berpartisipasi dalam pembangunan nasional dan inisiatif pemerintah. Ganjaran semacam ini dapat mendorong pihak swasta yang lain untuk turut berpartisipasi dalam usaha-usaha CSR yang dapat membawa sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.
Dalam makalah ini, sebuah konsep baru dalam mengikutsertakan pihak swasta dalam pelaksanaan CSR yang terarah akan diperkenalkan. Posisi dan peran lingkup pemerintah selain sebagai policy maker dalam makalah ini adalah juga sebagai pencentus sebuah institusi indepeden yang bisa berupa foundation atau yayasan untuk mengintegrasi kontribusi-kontribusi CSR dari tiap-tiap perusahan pendonor yang mana hasi kontribusi itu akan di manfaatkan untuk microcredit atau kredit mikro pengembangan Industri kreatif di Indonesia dan pengembangan SDM di industri kreatif agar mereka mempunyai kemampuan berbisnis yang lebih.

C.    Pendekatan Birokrasi
Birokrasi dapat diartikan  sebagai bagian pelaksana pemerintahan. Tetapi juga birokrasi berarti tatanan yang memiliki sifat delegasi wewenang, pembangian kerja, mekanisme administrasi dan termasuk juga pelaksanaan tugas dan pengawasannya. Secara kelembagaan, birokrasi diartikan sebagai salah satu level pemerintahan yang memiliki otoritas untuk mengatur dan melaksanakan tugas tugas pemerintahan. Ciri dari birokrasi adalah adanya kelompok penguasa dan metode pemerintahan.
S. Ramachander (1998) menjelaskan bahwa apa yang menjadi pusat perhatian dari Max Weber ialah persoalan mengenai apakah yang membuat orang-orang mematuhi perintah dan mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Persoalan ini menjadi penting ketika kita berhadapan dengan persoalan perubahan sosial secara kolektif. Dalam konteks ini, Weber membedakan antara kekuasaan (power) yang berarti kemampuan untuk menggerakkan orang-orang dengan kekuatan dan kewenangan (authority) yang berarti perintah-perintah yang ditaati oleh orang-orang dengan kesediaannya sendiri.
Salah satu instrumen penting untuk menjalankan dan menegakkan aturan-aturan hukum demi penyelarasan gerak langkah seluruh elemen masyarakat itu ialah birokrasi. Birokrasi merupakan tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang, Sebagai sebuah instrumen atau alat, maka birokrasi tak lebih dari aparatur pelaksana dari kebiajkan-kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan oleh badan-badan di luar dirinya.

D.    Pendekatan Kebijakan Publik
Studi kebijakan publik berusaha untuk meninjau berbagi teori dan proses yang terjadi dalam kebijakan publik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan publik tidak lepas dari proses pembentukan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, salah satu tujuan studi kebijakan publik adalah untuk menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses pembentukan kebijakan publik tersebut sehingga terwujudlah suatu kebijakan publik tertentu.
Tahapan demi tahapan tersebut terangkum sebagai suatu proses siklus pembuatan kebijakan publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik mengandung berbagai langkah dan metode yang lebih rinci lagi. Tahapan yang terdapat dalam pembuatan suatu kebijakan publik memiliki berbagai manfaat serta konsekuensi dari adanya proses tersebut, khususnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik. Thomas R. Dye menyebutkan Public policy is whatever governments choose to do or not to do. Kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Dalam pengertian ini, pusat perhatian dari kebijakan publik tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan termasuk apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah itulah yang memberikan dampak cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam  masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar