STAF AHLI BUPATI BENGKULU SELATAN
JANGAN MEMBIARKAN DIRI SEPERTI ORANG MENUNGGU REMISI
Sebutan
sebagai staf ahli kepala daerah sebenarnya cukup mentereng, namun ternyata
masih banyak yang enggan menyandangnya bahkan malah dianggap sebagai jabatan
yang harus dihindari. Di banyak daerah terutama di Kabupaten Bengkulu Selatan sendiri, menempati posisi ini malah
dianggap sebagai akhir dari segalanya.
Ada
anggapan yang berkembang, bahwa jadi staf ahli berarti masuk kotak. Namun ada
juga yang menganggap jadi staf ahli artinya sedang diparkir sementara, sambil
menunggu jabatan SKPD yang lowong. Setelah ada jabatan yang lowong, maka pejabat
yang bersangkutan dikembalikan ke SKPD kembali.
Sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, karena staf
ahli sesungguhnya memiliki peranan penting dalam memberikan masukan terhadap kebijakan
daerah yang diambil oleh seorang walikota/bupati, jika staf ahli berfungsi dan difungsikan dengan baik.
Mereka dikoordinir oleh Sekretaris Daerah (Sesda). Secara struktural, staf ahli gubernur masuk
eselon II a, sedangkan staf ahli bupati/walikota masuk eselon II b. Tugas dan
fungsi staf ahli sepenuhnya diserahkan kepada Kepala Daerah. Syaratnya, tugas
dan fungsi mereka harus di luar tugas dan fungsi perangkat daerah yang ada. Staf
ahli berperan mengurai jalur birokrasi yang berbelit-belit jika seorang Kepala
Daerah ingin menjalankan program. Jika semata-mata mengandalkan birokrat, bisa
saja program kepala daerah tidak terlaksana dengan baik.
Kehadiran staf ahli membuat terang sesuatu bagi Kepala
Daerah. Secara teoritis, staf ahli adalah jabatan yang sangat strategis, karena
merupakan "otak" atau "konsultan" Kepala Daerah dibidang
tertentu atau bisa disebut juga tim kreator di pemerintah daerah. Tetapi
praktiknya sesungguhnya sangat tergantung kepada kepala daerah dan staf ahli
tersebut. Kalau kepala daerah tidak
memilih berdasarkan keyakinan ia mampu dan mempunyai keahlian dibidangnya,
tentu Kepala Daerah tersebut sudah apriori terlebih dahulu, sehingga tidak akan
memperhatikan masukan dari yang bersangkutan. Seharusnya memang hal yang
demikian tidak perlu terjadi kalau kepala daerah objektif dalam memilih orang
yang diangkat.
Sementara
pada sisi lain, juga tergantung bagaimana para staf ahli sendiri menyikapinya.
Kalau mereka menyikapi jabatan staf ahli adalah suatu amanah dan cocok dengan
keahliannya, maka mereka akan tenang bekerja sebagai staf ahli. Sebaliknya
kalau yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan sebagai staf ahli, masih
merasa pejabat struktural yang punya power, anak buah, berbagai fasilitas ;
tidak mampu segera beradaptasi dengan jabatan baru atau frustasi sepanjang
hari, tidak produktif sehingga akan menjadi beban fsikologis dan tertekan.
Jadi tinggal memilih, ingin jadi staf ahli yang duduk
manis toh gaji dan tunjangan tetap cair sambil menunggu-nunggu siapa tahu ada
'remisi' bisa kembali ke SKPD ataukah tetap berikhtiar mengabdikan keahlian
yang dimilikinya dan menikmati apa yang telah diraihnya. Mudah bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar