Rabu, 11 Desember 2013

STAF AHLI BUPATI BENGKULU SELATAN JANGAN MEMBIARKAN DIRI SEPERTI ORANG MENUNGGU REMISI



STAF AHLI BUPATI BENGKULU SELATAN 
JANGAN MEMBIARKAN DIRI SEPERTI ORANG MENUNGGU REMISI

Sebutan sebagai staf ahli kepala daerah sebenarnya cukup mentereng, namun ternyata masih banyak yang enggan menyandangnya bahkan malah dianggap sebagai jabatan yang harus dihindari. Di banyak daerah terutama di Kabupaten Bengkulu Selatan sendiri, menempati posisi ini malah dianggap sebagai akhir dari segalanya.

Ada anggapan yang berkembang, bahwa jadi staf ahli berarti masuk kotak. Namun ada juga yang menganggap jadi staf ahli artinya sedang diparkir sementara, sambil menunggu jabatan SKPD yang lowong. Setelah ada jabatan yang lowong, maka pejabat yang bersangkutan dikembalikan ke SKPD kembali.

Sebenarnya anggapan tersebut tidak benar, karena staf ahli sesungguhnya memiliki peranan penting dalam memberikan masukan terhadap kebijakan daerah yang diambil oleh seorang walikota/bupati, jika staf ahli berfungsi dan difungsikan dengan baik.

Mereka dikoordinir oleh Sekretaris Daerah (Sesda).  Secara struktural, staf ahli gubernur masuk eselon II a, sedangkan staf ahli bupati/walikota masuk eselon II b. Tugas dan fungsi staf ahli sepenuhnya diserahkan kepada Kepala Daerah. Syaratnya, tugas dan fungsi mereka harus di luar tugas dan fungsi perangkat daerah yang ada. Staf ahli berperan mengurai jalur birokrasi yang berbelit-belit jika seorang Kepala Daerah ingin menjalankan program. Jika semata-mata mengandalkan birokrat, bisa saja program kepala daerah tidak terlaksana dengan baik.

Kehadiran staf ahli membuat terang sesuatu bagi Kepala Daerah. Secara teoritis, staf ahli adalah jabatan yang sangat strategis, karena merupakan "otak" atau "konsultan" Kepala Daerah dibidang tertentu atau bisa disebut juga tim kreator di pemerintah daerah. Tetapi praktiknya sesungguhnya sangat tergantung kepada kepala daerah dan staf ahli tersebut.  Kalau kepala daerah tidak memilih berdasarkan keyakinan ia mampu dan mempunyai keahlian dibidangnya, tentu Kepala Daerah tersebut sudah apriori terlebih dahulu, sehingga tidak akan memperhatikan masukan dari yang bersangkutan. Seharusnya memang hal yang demikian tidak perlu terjadi kalau kepala daerah objektif dalam memilih orang yang diangkat.

Sementara pada sisi lain, juga tergantung bagaimana para staf ahli sendiri menyikapinya. Kalau mereka menyikapi jabatan staf ahli adalah suatu amanah dan cocok dengan keahliannya, maka mereka akan tenang bekerja sebagai staf ahli. Sebaliknya kalau yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan sebagai staf ahli, masih merasa pejabat struktural yang punya power, anak buah, berbagai fasilitas ; tidak mampu segera beradaptasi dengan jabatan baru atau frustasi sepanjang hari, tidak produktif sehingga akan menjadi beban fsikologis dan tertekan.

Jadi tinggal memilih, ingin jadi staf ahli yang duduk manis toh gaji dan tunjangan tetap cair sambil menunggu-nunggu siapa tahu ada 'remisi' bisa kembali ke SKPD ataukah tetap berikhtiar mengabdikan keahlian yang dimilikinya dan menikmati apa yang telah diraihnya. Mudah bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar